Perang Dagang: Ancaman atau Peluang?
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, memperlihatkan ketegangan geopolitik dan ekonomi yang signifikan di antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Namun, di balik ancaman terhadap perdagangan global, muncul analisa menarik dari Standard Chartered yang menunjukkan bahwa pendekatan konfrontatif AS bisa berujung pada hasil yang tak terduga: penurunan tarif global.
Menurut analisis terbaru dari lembaga keuangan tersebut, tekanan ekonomi dan diplomatik akibat perang dagang justru berpotensi memaksa negara-negara untuk menurunkan hambatan perdagangan demi mengurangi konflik dan menciptakan kestabilan ekonomi jangka panjang.
Pandangan Standard Chartered: Kontradiksi yang Membangun
Secara tradisional, perang dagang dianggap berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pasar global. Namun, laporan yang dirilis Standard Chartered menyoroti adanya peluang yang bisa terjadi ketika negara-negara mencari alternatif untuk melawan dampak proteksionisme ala AS. Ini menciptakan ruang untuk terbentuknya koalisi perdagangan baru, atau bahkan perjanjian multilateral dengan tarif yang lebih rendah.
Faktor-faktor utama yang mendukung potensi penurunan tarif global antara lain:
-
Resistensi terhadap dominasi AS dalam perdagangan
-
Upaya negara berkembang menjalin kerja sama regional
-
Kebutuhan untuk menjaga stabilitas rantai pasok global
-
Insentif ekonomi dari perjanjian dagang bilateral atau multilateral
Respon Negara-negara Dunia terhadap Kebijakan AS
Aksi unilateral AS dalam meningkatkan tarif impor sejak era pemerintahan Trump hingga saat ini menimbulkan berbagai reaksi dari komunitas global. Uni Eropa, China, ASEAN, hingga negara-negara berkembang mulai mengembangkan kebijakan perdagangan mandiri yang lebih resisten terhadap tekanan AS.
Misalnya, melalui kesepakatan seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership), negara-negara Asia Pasifik berhasil menciptakan ekosistem perdagangan inklusif dengan tarif yang lebih rendah, sekaligus memperkuat kerja sama ekonomi tanpa bergantung pada AS.
Beralih dari Tariff War ke Tarif Rendah: Kemungkinan Masa Depan
Perang dagang sebenarnya bisa menjadi “wake-up call” bagi banyak negara untuk menyusun ulang strategi perdagangan mereka. Ketimbang hanya bertahan dari tekanan kebijakan proteksionis, negara-negara mulai aktif menciptakan peluang baru lewat:
-
Negosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan China
-
Investasi dalam infrastruktur perdagangan regional seperti zona logistik bebas bea
-
Digitalisasi sistem perdagangan global untuk efisiensi ekspor-impor
Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita akan melihat penurunan tarif secara sistemik, didorong oleh dorongan negara-negara menuju kerja sama lintas batas yang lebih efisien.
Perdagangan Multilateral vs Bilateral: Siapa Akan Unggul?
Standard Chartered juga mengungkapkan bahwa perdagangan multilateral menjadi semakin menarik bagi negara-negara dengan keterbatasan kekuatan ekonomi. Dibanding bernegosiasi langsung dengan AS atau China, lebih banyak negara kini memilih platform perdagangan multilateral karena lebih adil dan menguntungkan untuk semua pihak partisipan.
Namun, strategi bilateral masih tetap akan terjadi, terutama dalam sektor-sektor strategis seperti energi, semikonduktor, dan pertanian. Tapi tekanan untuk menciptakan sistem perdagangan global yang transparan dan terbuka — terutama dari kalangan G20 dan WTO — bisa mendorong adopsi tarif yang lebih rendah secara global.
Dampak terhadap Negara Berkembang dan Indonesia
Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, tren penurunan tarif global bisa memberi keuntungan kompetitif yang cukup signifikan. Jika hambatan tarif perdagangan menurun, maka:
-
Produk ekspor Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar dunia
-
Tarif impor bahan baku menurun, membantu industri manufaktur lokal
-
Dukungan terhadap UMKM meningkat karena lebih mudah menembus pasar internasional
Pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini dengan mempercepat negosiasi FTA (perjanjian perdagangan bebas), serta memperkuat kerja sama ekonomi kawasan seperti ASEAN dan Asia Timur. Selain itu, pendekatan digitalisasi perdagangan — lewat platform ekspor digital dan kemudahan logistik — dapat menjadi kunci untuk menghadapi persaingan global yang kian terbuka.
Kesimpulan: Dunia Bisa Berevolusi ke Arah Tarif yang Lebih Rendah
Perang dagang yang terlihat merugikan pada pandangan pertama, mungkin saja membawa hasil positif dalam jangka panjang. Tekanan global yang muncul dari kebijakan dagang unilateral AS mendorong banyak negara untuk menciptakan sistem perdagangan baru yang lebih terbuka dan efisien. Jika peluang ini dikelola dengan baik, maka dapat menghasilkan:
-
Penurunan tarif perdagangan secara global
-
Peningkatan volume perdagangan internasional
-
Stabilitas rantai pasok yang lebih luas
-
Peluang ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar
Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya kini memiliki kesempatan strategis untuk mengambil manfaat dari perubahan dinamika ini. Dengan kebijakan proaktif dan adopsi teknologi yang tepat, era perdagangan bebas yang lebih inklusif bukan hanya impian, tetapi bisa menjadi kenyataan.